LAPORAN DATA KETENAGAAN PENDIDIK DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN TAHUN 2011
|
|||||||||||
MI MIFTAHUL HUDA JATIROTO
|
|||||||||||
KECAMATAN : KAYEN
|
JENJANG : TK DAN SD
|
||||||||||
KABUPATEN : PATI
|
|||||||||||
PROPINSI : JAWA TENGAH
|
|||||||||||
No.
|
NAMA
|
NUPTK
|
NIP
|
Nama
|
Kode
|
Jenis Kelamin
|
Tempat / Tanggal
lahir
|
||||
SEKOLAH
|
PTK
|
||||||||||
1
|
1A
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
||||
MI MIFTAHUL HUDA
|
4344751654200003
|
Imam
Saeku, S.Pd.I
|
1
|
L
|
Pati,
10/12/1973
|
||||||
3850744647300012
|
Safa'atun
|
2
|
P
|
Pati,
18/5/1966
|
|||||||
2557759659300002
|
Rohani
Astuti, S.Pd.I
|
2
|
P
|
Pati,
25/2/1981
|
|||||||
3761754657300002
|
Nanik
Unsiyati, S.Pd.I
|
2
|
P
|
Pati,
29/4/1976
|
|||||||
7557754655300002
|
Luluk
Alfiatin, S. Pd.
|
2
|
P
|
Pati,
25/2/1976
|
|||||||
2038753654300023
|
Sri
Wahyuni, S.Ag
|
2
|
P
|
Pati,
07/06/1975
|
|||||||
6934746648200002
|
19680602 200501 1
002
|
Ahmad
Rivai, S.Pd.I
|
2
|
L
|
Pati,
'02/06/1968
|
||||||
3636754657200002
|
Fathur
Rohman
|
2
|
L
|
Pati,
04/03/1976
|
|||||||
5738750652200012
|
Sugiman
|
2
|
L
|
Pati,
04/06/1972
|
|||||||
2939758660300012
|
Umi
Hanik, S.Pd.I
|
2
|
P
|
Pati,
06/07/1980
|
|||||||
72366752654200003
|
Nur
Hambali, A. Ma.
|
2
|
L
|
Pati,
09/04/1974
|
|||||||
Eni
Rinawati
|
2
|
P
|
Pati,
26/01/1989
|
||||||||
1349755657200013
|
Ahmad
Suhadi, S.Pd.I
|
3
|
L
|
Pati,
17/101977
|
|||||||
Adam
Malik
|
3
|
L
|
Pati,
20/10/1995
|
||||||||
Data ketenagaan MI Miftahul Huda Jatiroto
Undang-Undang Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial;
b. bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang;
c. bahwa sistem pendidikan nasional
harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan;
d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti
serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL.
BAB
I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2.
Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
3.
Sistem pendidikan nasional adalah
keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.
4.
Peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran
yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
5.
Tenaga kependidikan adalah anggota
masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan
pendidikan.
6.
Pendidik adalah tenaga kependidikan
yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara,
tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
7.
Jalur pendidikan adalah wahana yang
dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses
pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
8.
Jenjang pendidikan adalah tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.
9.
Jenis pendidikan adalah kelompok yang
didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
10.
Satuan pendidikan adalah kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
11.
Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
12.
Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang.
13.
Pendidikan informal adalah jalur
pendidikan keluarga dan lingkungan.
14.
Pendidikan anak usia dini adalah suatu
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam
tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15.
Pendidikan jarak jauh adalah
pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya
menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi,
dan media lain.
16.
Pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi,
dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk
masyarakat.
17. Standar
nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di
seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang
harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan
pemerintah daerah.
19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan,
dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan.
22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program
dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang
dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga
kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.
24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.
25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh
masyarakat yang peduli pendidikan.
26. Warga negara adalah warga negara Indonesia baik yang
tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
27. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
29. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
30. Menteri adalah
menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
DASAR, FUNGSI DAN TUJUAN
Pasal 2
Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal
3
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
BAB
III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Pasal
4
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang
sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya
membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan.
BAB
IV
HAK DAN
KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH
Bagian
Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal
5
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus.
(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan
meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Pasal
6
(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap
keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua
Pasal 7
(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan
pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.
(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban
memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Masyarakat
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 10
Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu,
dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 11
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
dengan lima belas tahun.
BAB V
PESERTA DIDIK
Pasal 12
(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan
berhak:
a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;
b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya;
c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan
pendidikan lain yang setara;
f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan
belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
(2) Setiap peserta didik berkewajiban:
a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;
b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali
bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai
hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB VI
JALUR, JENJANG,
DAN JENIS PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak
jauh.
Pasal
14
Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Pasal
15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pasal
16
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
Bagian Kedua
Pendidikan
Dasar
Pasal
17
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang
melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan
madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah
pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah
Pasal 18
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan
dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah
umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas
(SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah
aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi
Pasal 19
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan
tinggi.
(2) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem
terbuka.
Pasal 20
(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program
akademik, profesi, dan/atau vokasi.
(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 21
(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian
dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program
pendidikan yang diselenggarakannya.
(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik,
profesi, atau vokasi.
(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan
oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar
akademik, profesi, atau vokasi.
(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi
lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang
diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.
(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi
persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penyelenggara
pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan
pendidikan.
(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan
oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan ayat (1) atau
penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dinyatakan tidak sah.
(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau
vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 22
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor
berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada
setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa
yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan,
keagamaan, kebudayaan, atau seni.
Pasal 23
(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat
diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan
selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan
tinggi.
Pasal 24
(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan
mimbar akademik serta otonomi keilmuan.
(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola
sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari
masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas
publik.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 25
(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan
untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.
(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya
digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti
merupakan jiplakan dicabut gelarnya.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan
pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal
Pasal 26
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. `
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus,
lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Keenam
Pendidikan Informal
Pasal 27
(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus
ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak
Usia Dini
Pasal 28
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang
pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui
jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain
yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal
berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain
yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal
berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedelapan
Pendidikan
Kedinasan
Pasal 29
(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang
diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai
negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah
nondepartemen.
(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal.
(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kesembilan
Pendidikan
Keagamaan
Pasal 30
(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta
didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh
Pasal 31
(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan
pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan
secara tatap muka atau reguler.
(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai
bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta
sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Bagian
Kesebelas
Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Pasal 32
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang
terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu
dari segi ekonomi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan
pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
BAB VII
BAHASA
PENGANTAR
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa
pengantar dalam pendidikan nasional.
(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian
pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar
pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing
peserta didik.
BAB VIII
WAJIB BELAJAR
Pasal 34
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat
mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin
terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB IX
STANDAR
NASIONAL PENDIDIKAN
Pasal 35
(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala.
(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
dan pembiayaan.
(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta
pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu
badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB X
KURIKULUM
Pasal 36
(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik.
(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a.
peningkatan iman dan takwa;
b.
peningkatan akhlak mulia;
c.
peningkatan potensi, kecerdasan, dan
minat peserta didik;
d.
keragaman potensi daerah dan
lingkungan;
e.
tuntutan pembangunan daerah dan
nasional;
f.
tuntutan dunia kerja;
g.
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h.
agama;
i.
dinamika perkembangan global; dan
j.
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
(4)
Ketentuan mengenai pengembangan
kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 37
(1) Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.
pendidikan agama;
b.
pendidikan kewarganegaraan;
c.
bahasa;
d.
matematika;
e.
ilmu pengetahuan alam;
f.
ilmu pengetahuan sosial;
g.
seni dan budaya;
h.
pendidikan jasmani dan olahraga;
i.
keterampilan/kejuruan; dan
j.
muatan lokal.
(2) Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
pendidikan agama;
b.
pendidikan kewarganegaraan; dan
c.
bahasa.
(3) Ketentuan
mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 38
(1)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.
(2)
Kurikulum pendidikan dasar dan
menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi
dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan
dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.
(3)
Kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
(4)
Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
BAB XI
PENDIDIK DAN
TENAGA KEPENDIDIKAN
Pasal 39
(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi,
pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang
proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Pasal 40
(1)
Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas
dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan
kualitas;
d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak
atas hasil kekayaan intelektual; dan
e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan
fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
(2)
Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
a.
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis;
b.
mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan;
dan
c.
memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan
sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Pasal 41
d.
Pendidik dan tenaga kependidikan dapat
bekerja secara lintas daerah.
(3)
Pengangkatan, penempatan, dan
penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang
mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
(4)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
(5)
Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 42
(1)
Pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
(2)
Pendidik untuk pendidikan formal pada
jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.
(3)
Ketentuan mengenai kualifikasi
pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 43
(1)
Promosi dan penghargaan bagi pendidik
dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan,
pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang
pendidikan.
(2)
Sertifikasi pendidik diselenggarakan
oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi.
(3)
Ketentuan mengenai promosi,
penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 44
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2)
Penyelenggara pendidikan oleh
masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakannya.
(3)
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.
BAB XII
SARANA DAN
PRASARANA PENDIDIKAN
Pasal 45
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial,
emosional, dan kejiwaan peserta didik.
(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XIII
PENDANAAN
PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan
Pasal 46
(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan
Pasal 47
(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan
prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan
sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana
Pendidikan
Pasal 48
(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Keempat
Pengalokasian Dana
Pendidikan
Pasal 49
(1)
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah
dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XIV
PENGELOLAAN
PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 50
(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung
jawab menteri.
(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar
nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
(4) Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan
fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat
pendidikan dasar dan menengah.
(5) Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan
pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki
otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.
(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan
ayat (6) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 51
(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan
minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang
transparan.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 52
(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan
nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Badan Hukum
Pendidikan
Pasal 53
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan
undang-undang tersendiri.
BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,
pelaksana, dan pengguna hasil
pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 55
(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat
bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah
dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh
bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 56
(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan
pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan
berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan
pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang
tidak mempunyai hubungan hirarkis.
(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri,
dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan,
arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan
pada tingkat satuan pendidikan.
(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XVI
EVALUASI,
AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI
Bagian Kesatu
Evaluasi
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu
pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan
program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan,
dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh
pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta
didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi
terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk
lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Akreditasi
Pasal 60
(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program
dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap
jenjang dan jenis pendidikan.
(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan
dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai
bentuk akuntabilitas publik.
(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat
terbuka.
(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 61
(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.
(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan
terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan
setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi.
(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara
pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat
sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu
setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
terakreditasi atau lembaga sertifikasi.
(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN
PENDIDIKAN
Pasal 62
(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang
didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.
(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi
pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi,
serta manajemen dan proses pendidikan.
(3) Pemerintah atau pemerintah daerah memberi atau mencabut
izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
Pasal 63
Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan
Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan undang-undang ini.
BAB XVIII
PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN
Pasal 64
Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara
asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan
atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 65
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang
diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar
dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta
didik warga negara Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama
dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan
negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XIX
PENGAWASAN
Pasal 66
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan, dan
komite sekolah/madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan
pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
BAB XX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 67
(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup
berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru
besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 68
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah,
sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan
pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara
paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak
sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan
sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu
dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan
ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 70
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar
akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat
(2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling
lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).
Pasal 71
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah
atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
BAB XXI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal 72
Penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diundangkan
belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang mengatur badan
hukum pendidikan.
Pasal
73
Pemerintah atau pemerintah daerah wajib memberikan izin paling
lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat
undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin.
Pasal
74
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada
saat diundangkannya undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini.
BAB XXII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
75
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk
melaksanakan undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun
terhitung sejak berlakunya undang-undang ini.
Pasal 76
Pada saat mulai
berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Nomor 48/Prp./1960 tentang
Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor
155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 77
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2003
Langganan:
Postingan (Atom)